0

askep Sistemik lupus erytamotosus

Posted on Wednesday 4 January 2012

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).                              
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam  yang hidup di Afrika.  Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus  per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus  per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.
Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya. Kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005). Penderita SLE dengan manifestasi kulit dan muskuloskeletal mempunyai survival rate yang lebih tinggi daripada dengan manifestasi klinik renal dan central nervous system (CNS). Meskipun mempunyai survival rate yang berbeda, penderita   dengan   SLE   mempunyai   angka  kematian   tiga   kali   lebih   tinggi dibandingkan orang sehat. Saat ini prevalensi penderita yang dapat mencapai survival rate 10 tahun mendekati 90%, dimana pada tahun 1955 survival rate penderita yang mencapai  5 tahun kurang dari 50%. Peningkatan angka ini menunjukkan peningkatan pelayanan terhadap penderita SLE yang berkaitan dengan deteksi yang lebih dini, perawatan dan terapi yang benar sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran dan farmasi.
Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas. The Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 – 44 tahun yang menderita SLE mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct miocard daripada wanita sehat. Penyebab peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi endotelial, mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi  arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari SLE). Dari suatu hasil penelitian menunjukkan penyebab mortalitas 144 dari 408 pasien dengan SLE yang dimonitor lebih dari  11 tahun adalah lupus yang akif (34%), infeksi (22%), penyakit jantung (16%), dan kanker (6%) (Bartels, 2006).
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi  remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat          obat-obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan. NSAID dapat digunakan untuk SLE ringan. Dosis yang digunakan harus memadai untuk menimbulkan efek antiinflamasi. Aspirin dosis rendah dapat digunakan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid. Penggunaan NSAID dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, hal ini dapat memperparah terjadinya lupus nefritis (Delafuente, 2002).
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroklorokuin dapat digunakan untuk mengatasi lupus dengan lesi kulit berbentuk cakram. Selain itu obat ini juga dapat digunakan untuk terapi SLE terutama pada pasien dengan keluhan manifestasi kulit, pleuritis, inflamasi perikardial ringan, anemia ringan dan leukopenia. Obat ini digunakan umumnya dalam  jangka panjang. Selain NSAID dan antimalaria, kortikosteroid juga digunakan pada terapi SLE. Penderita SLE tidak selalu memerlukan kortikosteroid, pasien dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain baru diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami  lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Tujuan pemberian kortikosteroid adalah untuk menekan penyakit yang aktif dan mempertahankannya dengan dosis serendah mungkin. Terapi kortikosteroid yang diberikan jangka pendek dan dosis tinggi intravena mempunyai tujuan yaitu untuk menginduksi terjadinya remisi pada penderita SLE yang mempunyai manifestasi klinik serius. Untuk obat-obat sitotoksik yang digunakan adalah kategori bahan pengalkilasi seperti siklofosfamid dan antimetabolit azatioprin. Biasanya obat-obat tersebut dikombinasikan dengan kortikosteroid. Tujuan kombinasi ini adalah untuk mengurangi dosis steroid dan meningkatkan efektivitas steroid (Delafuente, 2002). Selain obat-obat yang digunakan untuk pengobatan penyakit SLE, perlu juga diwaspadai obat-obat yang dapat menginduksi terjadinya penyakit SLE antara lain hidralazin, prokainamid, metildopa, klorpromazin, dll. (Herfindal et al., 2000).
Oleh karena itu sejalan dengan perkembangan ilmu terapi dan perubahan paradigma kefarmasian ke arah pharmaceutical care, farmasis sebaiknya turut berperan dalam tim kesehatan dalam hal pemilihan obat, penyediaan produk obat, monitor efek obat, mengidentifikasi problema obat yang timbul maupun yang berpotensi untuk timbul serta pengobatan kompleks yang diberikan kepada penderita SLE. Hal ini penting mengingat SLE adalah penyakit dengan banyaknya manifestasi klinik yang muncul maka diperlukan penguasaan yang baik mengenai penggunaan obat di lapangan yang data-datanya dapat diperoleh melalui studi penggunaan obat. Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan penelitian untuk mempelajari pola penggunaan obat pada penderita SLE sehingga dapat diketahui bahwa terapi yang diberikan tepat dan adekuat serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

B.     Tujuan

1.    Tujuan Umum
Menjelaskan tentang Systemic Lupus Erythematosus (SLE)  dan Asuhan Keperawatan pada klien dengan kasus Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
2.    Tujuan khusus
a.    Menjelaskan tentang SLE.
b.    Menjelaskan tentang penyebab dari SLE.
c.    Menjelaskan tentang manifestasi klinis dari SLE.
d.   Menjelaskan tentang patofisiologi dari SLE.
e.    Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang untuk SLE.
f.     Menjelaskan tentang komplikasi SLE.
g.    Menjelaskan tentang penatalaksanaan SLE.
h.    .Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan SLE
.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi
Lupus Eritematosus  merupakan gangguan inflamasi kronis jaringan ikat yang muncul dalam dua bentuk : Lupus eritematosu distoid yang mengenai kulit saja dan sistemik lupus eritematosus (SLE) yang menyerang lebih dari satu sistem organ selain kulit serta bersifat fatal. SLE ditandai oleh remisi dan eksaserbasi yang rekuren dan sering dijumpai terutama pada musim semi serta musim panas. ( Kowalak, Welsh, Mayer . 2002)
Prognosis nya lebih baik jika pnyakit ini ditemukan dan di tangani secara dini dan tetap buruk pada pasien Lupus yang mengalami komplikasi kardiovaskuler, renal atau neurologi atau yang menderita pula infeksi bakteri berrat. ( Kowa lak, Welsh, Mayer . 2002).
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multi sistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem   imun   dan    produksi    autoantibodi    yang    berlebihan    (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

B. Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLEdi berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2.9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering di temukan pada ras tertentu seperti bangsa negro,cina dan mungkin juga filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi penyakit .penyakit ini dapat di temukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita di bandingkan dengan prekuensi pada pria berkisar antara(5,5-9):1.pada lupuseritematosus yang di sebabkan obat (drug induced LE). Rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.
Beberapa data yang berada diindonesia di peroleh dari pasien yang di rawat di ruamh sakit. Dari 3 penelitian di departemen ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran Universitas indonesia/RS.Dr Cipto mangunkusumo jakarta yang melakukan penelitian pada priode yang berbeda di peroleh data sebagai berikut: antara tahun 1969-1970 di temukan 5 kasus SLE (ismail ali); selama priode 5 tahun (1972-1976) di temukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang di rawat ( insidensi sebesar 15 per 10.000 perawatan); antara tahun 1988-1990 (3tahun) insiden rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-beda yaitu berturut-turut kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA dan kriteria ARA yang telah di perbaiki.
Insidensi di yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan (purwanto dkk). Di medan antara tahun 1984-1986 di dapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan, (Tarigan).

C. Etiologi
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.  Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE   (Herfindal et al., 2000).
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1.      Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2.      Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3.      Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

D. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

E. Manifestasi Klinis
a)      MANIFESTASI MUSKULOSKELETAL
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi yang paling sering di jumpai pada pasien LES, lebih dari 90%. keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu atritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali di anggap sebagai manifestasi artitisreumatoid karena ktterbatasan sendi yang banyak  dan simetris.untuk ini perlu dibedakan dengan atritis reumatoid di mana pada umumnya LES tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya.satu hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan ada nya koinsidensi penyakit autoimun lain seperti atritis reumatoid, foliniositis, skleroderma atau manifestasi klinis penyakit-penyakit tersebut merupakan bagian gejala klinis LES.
b)      MANIFESTASI INTERGUMEN
Ruam kulit merupakan manifestasi LES pada kulit yang telah lama di kenal oleh para ahli.sejak era Rogerius, Paracelsus, Hebra sebelum abad 19 manifestasi kulit seperti seborea kongestifa,herpes esthimones dan sebagainya telah di perdebadkan sebagai suatu lesi kulit pada LES.lesi muko/kutaneous yang tampak sebagai bagian LES dapat berupa reaksi foto sensitivitas, diskoid LE(DLE), subakute kutaneus lupus eritheima tosus (SCLE), Lupus profundus/paniculitis, alpecia lesi vaskular berupa eritema periungual, livedo reticularis teleangiektasia, fenomena raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema pada palatum mole dan durum,bercak atrofis,eritema atau depigmentasi pada bibir.
c)      MANIFESTASI KARDIOLOGIS
Baik perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah coroner dapat terlibat pada pasien LES, walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium.
Perikarditis harus di curigai apabila di jumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silahouette sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG, Ekokardiografi, apabila di jumpai adanya aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang tidak jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu di buktikan lebih lanjut.
Penyakit jantung koroner dapat pula di jumpai pada pasien LES dan bermanifestasi sebagai angina fektoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak di jumpai pada pasien LES usia muda dengan jangka penting yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.
Valkulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi yang lain juga sering di jumpai pada pasien LES. Vegetasi pada katup jantung merupakan akumulasi dari kompleks imun, sel mononuklear jaringan nekrosis, jaringan paru, hematoks silin bodies, fibrin dan trombus trombosit. Manifestasi yang sering di jumpai adalah bising jantung sistolik dan diastolik.
d)     MANISFESTASI NEUROPSIKIATRIK
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit di tegakan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini di kelompokan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak di dasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis,urenia,dan hipertensi berat.
Pembuktian ada keterlibatan syaraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses penegakan diagnosis ini. Dapat di jumpai kelainan EEG namun tidak spesifik. Pada cairan serebospinal dapat di temukan kompleks imun. Kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA dan atau IgM, peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein ataupenurunan kadar glukosa.
Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi syaraf kranial, lesi batang otak, meningitisaseptik atau myelitis transversal. Sedangkan pada susunan syaraf tepi akan bermanifestasi sebagai perifer, myastenia gravis atau mononeuritis multiflex. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik atau non organik.
e)      MANIFESTASI  RENAL
Keterlibatan ginjal dijumpai  pada 40-75%pen-derita yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita:pria dengan kelainan ini adalah 10:1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun.
Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik pemeriksaan terhadap protein urin >500 mg/24 jam atau 3+ semi kwantitatif. Adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta pyuria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukan adanya keterlibatan ginjal pada pasien LES. Akan tetapi melalui biopsi ginjal akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal ini. WHO membagi klasifikasi keterlibatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi 6 klas.
Kajian yang masih kontroversil dan menarik untuk dibahas adalah kaitan antara gambaran klinis, laboratorik, klasifikasi patologi. Kajian ini diperlukan sehubungan dengan kepentingan strategi pengobatan dimana tujuan utamanya adalah memprtahankan fungsi ginjal. Namun demikian adanya proteinnuria, piura serta buruknya bersihan kreatinin dapat diakibatkan sebab lain seperti infeksi, glomeruinefritis, efek toksik obat pada ginjal.
f)       MANIFESTAI PARU
Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan apru, atau shrinking lung  syndrom .
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik. Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas bronkhoalveolar. Biasanya pasien akan merasa sesak, batk kering, dan dijumpai ronkhidi basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada elveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik dengan pmeberian steroid.
Hemoptitis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan yang tepat, dimana tidak hanya penggunaan steroid namun tindakan pengobatan lain seperti lasmaferesis atau pemberian sitostatika.
g)      MANIFESTASI GASTROINTESTINAL
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada pasien LES, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan.
Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric vasculitis, inflamatory bowel disease (IBS),pankreatitis dan penyakit hati.
Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat pasien dalam keadaan tertekan dan sifatnya episodik. Walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan pada esofagus tersebut, kecuali gangguan motilitas.
Keluhan dispesia yang dijumpai pada lebih kurang 50% pasien LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid. Bahkan adanya ulkkus juga berkaitan dengan pemakaian obat ini.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum, yang dibuktikan dengan pemeriksaan autopsi.
Kelainan lain seperti IBS sulit dibedakan dengan causa idiopatik karena gambaran klinis yang tidak banyak berbeda.
Vaskullitis yang terjadi di daerah mesenterik perlu mendapat perhatian yang besar karena, walaupun jarang, dapat mengakibatkan perforasi usus halus ataun colon yang berakibat fatal. Keluha ditandai dengan nyeri di daerah abdominal bawah yanng hilang timbul dalam periode beberapa minggu atau bulan.pembuktian adannya vaskulitis dilakukan dengan arteriografi.
Pankreatitis akut dijumpai sekitar 8% pasien LES. Keluhan ditandai dengan adanya nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amilase. Sampai saat ini penyebabnya masih dipertanyakan apakah memang karena LES itu sendiri atau akibat pengobatan steroid, azathioprin yang diketahui dapat menyebabkan pankreatitis. Namun demikian pula pankreatitis pada pasien yang tidak mendapatkan steroid.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkata serum SGOT/ SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH. Kelainan ini herkaitan dengan aktivitas penyakit dan penggunaan anti inflamasi non steroid, terutama salisilat. Kecurigaan terhadap LES pelu dipikirkan apabila pada seorang wanita muda dengan poliartritis dan mendapatkan salisilat didapatkan peningkatan serum SGOT/ SGPT. Tranminase ini akan kembali normal apabila aktibitas LES dapat dikontrol dan anti inflamasi dihentikan. Belum jelas hingga kini apakah kelainan hati yang terjadi merupakan bagian dari LES. Konsidensi dengan LES, atau merupakan Lupoid Hepatitis (autoimmune chronic active hepatitis) dan tidak dijumpai buktinya adanya kaitan infeksi hepatitis B (HBV).

F. Komplikasi
1.      Infeksi lain yang terjadi secara bersamaan
2.      Infeksi saluran kemih
3.      Gagal ginjal
4.      Osteonekrosis tulang pinggul/pangkal paha akibat penggunaan streroid jangka panjang, ( Kowa lak, Welsh, Mayer . 2002).

G. Penatalaksanaan
1.      Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.                                                                                                         
2.      Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3.      Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
4.      Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan gejala artritis.
5.      Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort ) atau triamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
6.       Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria, seperti hidroksikolorokuin  sulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.
7.      Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang berhubungan dengan sistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis lupus, faskulitis dan gangguan pada SSP, (Kowa lak, Welsh, Mayer . 2002).



















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1.      Anamnesis
Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2.      Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3.      Sistem Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
4.      Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5.      Sistem Paru
Pleuritis atau efusi pleura.
6.      Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
7.      Sistem Renal
Edema dan hematuria.
8.      Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.



B. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan terhadap pasien SLE:
a)      Tes ANA ( Anti Nuclear Antibody )
b)      Tes Anti dsDNA ( Double Stranded )
c)      Tes Antibodi anti-S ( Smith )
d)     Tes Anti-RNP ( Ribonukleoprotein )
e)      Tes sel LE
f)       Tes anti ssDNA ( Single stranded )

D. Diagnosa Keperawatan

1.      Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

2.      Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.

3.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.

4.      Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.

5.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.












E. Intervensi
Hari/ Tgl
No. Dx
Tujuan
Intervensi
Senin/ 4/01/12
1
Perbaikan dalam tingkat kennyamanan

1.      Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)

2.      Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.

3.      Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.

4.      Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.

5.      Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

6.      Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

7.      Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.


Senin/ 4/01/12
2
Mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah.

1.      Beri penjelasan tentang keletihan Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.

2.      Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.

3.      Rujuk dan dorong program kondisioning.

4.      Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.


Senin/ 4/01/12
3.
Mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.

1.      Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.

2.      Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.

3.      Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.


Senin/ 4/01/12
4.
Mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan enyakit.
1.      Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
2.      Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut

Senin/ 4/01/12
5.
Pemeliharaan integritas kulit.
1.      Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi.
2.      Hilangkan kelembaban dari kulit.
3.      Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
4.      Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
5.      Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
     Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1.      Discoid Lupus
2.      Systemic Lupus Erythematosus
3.      Lupus yang diinduksi oleh obat                         


Posted in

No Comments

Discussion

Leave a response